Thu, Jun 3rd 2010, 09:20
(Dalam Perspektif UU PA)
Ridwan Nyak Baik - Opini
ACEH dikenal sebagai daerah modal bagi Indonesia, namun kini hanya ada dalam ucapan dan catatan sejarah. Ketertinggalan Aceh dari daerah-daerah lain karena konflik yang berkepanjangan secara laten telah menyengsarakan masyarakat. Keterbelakangan itu bertambah lengkap dengan kehancuran Aceh akibat hantaman gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004.
Bencana alam yang amat dahsyat tersebut telah menghentak perhatian seluruh penjuru dunia. Aceh yang semula secara politik merupakan daerah tertutup, menjadi terbuka pascabencana. Atas prakarsa dan fasilitator mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, bertempat di Helsinki pada 15 Agustus 2005 ditandatangani naskah perdamaian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perdamaian ini menjadi titik tolak untuk kita berangkat ke masa depan Aceh yang bermartabat, aman, damai dan sejahtera.
Tapi sebaliknya, di sisi lain kesempatan baik dan bersejarah tersebut akan lewat tanpa makna apa-apa, jika semua aktor dan pemangku kepentingan tidak tulus mengimplementasikan butir-butir yang telah disepakati dalam MoU Helsinki.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai bagian terpenting dari tindak lanjut hasil perdamaian Helsinki maka rekonstruksi Aceh secara menyeluruh serta perjalanannya ke depan dalam mengejar ketertinggalan harus dijalankan sesuai koridor UUPA dimaksud, termasuk pengolaan serta pengusahaan sumber daya alam minyak dan gas bumi (Migas) yang terkandung dalam perut Aceh.
Tapi apa yang terjadi, niat Aceh untuk segera berlari pasca konflik dan tsunami serasa masih mimpi. Sebab hampir lima tahun UUPA dinyatakan berlaku Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan undang-undang tersebut, khususnya yang terkait dengan pengusahaan Migas di Aceh hingga kini belum terbit. Padahal Pasal 160 dan 161 UUPA dengan gamblang mewasiatkan bahwa pengelolaan Migas di Aceh dilakukan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh.
Koridor yang diberikan UUPA tentang pengelolaan sumber daya alam Migas Aceh, kiranya perlu kita dalami lebih lanjut seberapa jauh pergeseran hakikat mineral right dan manajemen pengawasan mining right yang dalam perspektif UU No. 22/2001 tentang Migas sepenuhnya masuk ranah Pemerintah Pusat akan bergeser ke wilayah “pengelolaan bersama” antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh. Pergeseran peran pengelolaan ini seyogianya terakomodir dalam klausul-klausul Peraturan Pemerintah (PP) tentang pengusahaan Migas Aceh sehingga roh dan substansi materi, baik tersurat maupun tersirat dalam pasal-pasal yang dikandung UUPA implementatif di lapangan demi memacu peningkatan kesejahteraan dan lajunya pembangunan Aceh yang sudah 30 tahun tertinggal dari saudara-saudaranya di daerah lain.
Melihat kemajuan penyiapan PP turunan UUPA sebagai landasan hukum yang akan memberi arah penataan ulang perjalanan Aceh ke depan, terkesan lamban kita patut prihatin berat. Karena tanpa PP maka untaian kata dan kalimat indah, sarat harap serta menjanjikan kondisi Aceh ke depan yang dikandung UUPA tak akan terealisasi. Artinya, apa yang tertera dalam UUPA semacam kata mutiara, melegakan ketika dibaca namun tidak pernah terwujud di alam nyata.
Blok-A
Sejak zaman Belanda kekayaan Migas Aceh telah diproduksi namun bukan untuk kesejahteraan anak bangsa yang berdomisili di bumi Iskandar Muda. Di antara daerah pesisir barat bibir Selat Malaka yang sudah terbukti kaya Migas dan masih tersisa adalah Blok-A, berlokasi mulai dari Kuala Langsa hingga Tualang Cut. Blok-A saat ini dikelola oleh konsorsium Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terdiri dari PT. Medco Malaka (sekaligus bertindak selaku operator), Primer Oil, dan Japex yang bekerja atas dasar Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan Pemerintah Pusat berdasarkan UU No. 22/2001 tentang Migas dan PP No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Kontrak Blok-A yang saat ini masih ditangan PT. Medco E&P Indonesia dan mitranya, akan berakhir pada 31 Agustus 2011. Berhubung kontrak tersebut ditandatangani sebelum berlakunya UUPA maka peran Pemerintah Aceh dalam pengusahaan dan pengelolaan Blok-A tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, seiring dengan berlakunya UUPA pada 2006 maka seharusnya Pemerintah Aceh menjalankan kebijakan perpanjangan kontrak Blok-A dalam 2 skenario.
Pertama, semaksimal mungkin mendorong pusat untuk mempercepat penerbitan PP Migas Aceh yang merupakan penjabaran dari UUPA, dan perpanjangan Blok-A berlangsung berdasarkan PP tersebut bukan dalam koridor PP No. 34/2005.
Kedua, dalam hal PP Migas Aceh belum terbit maka seharusnya Pemerintah dan DPR Aceh menangguhkan perpanjangan Blok-A setelah 31 Agustus 2011. Pertimbangan alternatif kedua adalah, ketika kontrak lama putus pada 31 Agustus 2011 maka perpanjangan selanjutnya berlangsung dalam landasan UUPA, yakni pengusahaan dan pengelolaan sumberdaya alam Migas dikelola bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Dengan pengelolaan bersama dimaksud maka peran Pemerintah Aceh dalam mengontrol semua aktifitas sektor hulu pengusahaan Migas di wilayah Aceh mulai dari fase survai awal, eksplorasi, eksploitasi, produksi, dan lain-lain sebagainya menjadi lebih menentukan, aweuk ka geutanyou mat sama-sama kon le bak jarou pusat semata.
Harian Serambi, edisi Selasa (18/5) pada Rubrik Ekonomi, halaman 15 menurunkan persetujuan Ketua DPRA, Hasbi Abdullah terkait dengan perpanjangan kontrak kerjasama PT Medco E&P Indonesia di Blok-A, Aceh Timur dengan catatan tidak merugikan rakyat Aceh dan Medco diminta untuk mengikuti PP Migas yang baru (Aceh) bila PP tersebut sudah terbit. Sungguh pernyataan persetujuan ini, meski hati-hati agar keuntungan rakyat Aceh terungkap ke permukaan namun tetap terkesan ambivalennya. Sebab, bagaimana suatu keputusan sekarang dalam perspektif UU No.22/2001 tentang Migas dan PP No. 34/2005 tentang Kegiatan Hulu Migas sebagai leg generalis di tautkan pelaksanaannya dengan PP Migas Aceh yang pasal dan ayat tersurat belum jelas meski rancangannya sebagai turunan dari UUPA berupa lexs specialis, sudah dibahas di tingkat pusat.
Ketika setiap kebijakan terkait pengelolaan Migas Aceh tidak diputuskan dengan menggunakan landasan hukum yang mengacu pada UUPA dan PP turunannya maka cerita lama yang terjadi sejak zaman Belanda akan kembali mengemuka. Bahwa rakyat Aceh akan tetap menjadi penonton dari derak gerak mesin pompa yang menguras sumur-sumur Migas tanah Iskandar Muda. Kalau, toh ingin diperpanjang kenapa tidak menunggu sebentar lagi hingga September 2011 sambil mengevaluasi kinerja operator Blok-A selama ini. Logisnya, persetujuan perpanjangan diberikan setelah KKKS yang mengelola Blok-A selama 5 tahun terakhir dinilai kinerja dan reputasinya. Semoga apa yang disampaikan oleh Ketua DPR Aceh di atas hanya baru sebatas wacana.
Maka jika kita hendak mengangkat marwah dalam pengelolaan Migas Aceh, tidak ada lain kata kecuali melakukannya dalam perspektif UUPA. Dengan demikian aweuk geutanyoe mat bersama, demi sebesar-besarnya manfaat bagi upaya menyejahterakan rakyat Aceh yang selama ini terpuruk akibat perang dan bencana. Semoga!
* Penulis adalah Mahasiswa S3 Perencanaan Wilayah, Pascasarjana USU, Medan.
http://www.serambinews.com/news/view/31994/masa-depan-migas-aceh
No comments:
Post a Comment