Tue, Jun 1st 2010, 09:42
M Andalas - Opini
KEMBALI dokter menjadi fokus berita, bila selama ini kehebohan masyarakat karena ketiadaan dokter di puskesmas atau jadwal antrean operasi yang panjang di rumah sakit, heboh kali ini adalah cerita sang dokter yang bertanya kenapa dipuskesmaskan? Sehingga timbul bermacam opini dasar terhadap program baru dalam hal penempatan dokter ahli ala Aceh Barat ini.
Memang dalam hal ide menarik tak dipungkiri Aceh selalu menjadi unggul (leader) sebagai penggagas ide pertama, sebut saja ide Bappeda sebagai cikal bakalnya Bappenas asal muasalnya dikemas dari Aceh, begitu juga daerah syariat Islam juga Aceh yang pertama.
Ide kesehatan prorakyat ala Aceh Barat ini memang patut mendapat acungan jempol dari pihak pengamat kesehatan publik, karena dengan cara ini akan memperpendek akses masyarakat mendapat pelayanan dokter spesialis, sehingga pascaberobat ke puskemas masyarakat pengantar si sakit dengan sendirinya dapat kembali bekerja untuk kegiatann kesehariannya.
Penulis sempat terenyuh saat mendengar rencana Bupati Aceh Barat, Ramli MS menempatkan dokter ahli di puskesmas, dalam pemikiran penulis inilah pimpinan daerah yang benar-benar telah merespon keinginan menteri kesehatan yakni, ingin memfungsikan peran puskesmas sebagai ujung tombak kegiatan/upaya untuk mencapai kesehatan bagi semua masyarakat Indonesia. Akankah upaya atas kebijakan ini termasuk upaya preventif dan edukatif bagi masyarakat desa, bila benar maka menurut penulis sangat patut didukung. Akan tetapi bila kebijakan ini hanya dalam upaya menyembuhkan (kuratif) saja maka tunggu dulu, karena masih banyak problema dalam penempatan dokter ahli misal masih terbatasnya dokter ahli yang mau ke daerah konon lagi daerah yang menurut para dokter tidak ‘basah’.
Perlu diketahui bahwa saat ini tidak ada lagi kewajiban bagi seorang dokter untuk kerja wajib sarjana di puskesmas, keadaan ini imbas dari kebijakan tuntutan hak azasi para dokter untuk mendapat hak sama dengan sarjana lainnya di Indonesia, sehingga keputusan presiden tentang wajib kerja di puskesmas dibatalkan. Wajar saja para dokter muda sekarang hanya mencari tempat yang aksesnya mudah ditempuh, tempat ‘basah’ dan daerah yang mempunyai fasilitas lengkap. Maka imbas dari kebijakan ini bisa kita lihat sekarang, banyak puskesmas di daerah yang sulit ditempuh atau terisolir tidak ada dokternya, paling ada hanya dipimpin seorang perawat atau bidan.
Menurut penulis, boleh saja bila ada pemimpin daerah bersikap bijak dengan menempatkan dokter spesialis yang selama ini menjadi impian masyarakat desa di puskesmas. Selain itu bisa saja kebijakan tersebut menunjukkan komitnya Sang Bupati pada janji-janjinya saat kampanye pilkada dalam hal kebijakan bidang kesehatan.
Hal kebijakan kesehatan pro rakyat desa sekarang ini telah menjadi salah satu unggulan mencari simpati rakyat dan telah banyak digunakan para calon pemimpin saat pilkada.
Menjadi pertanyaan penulis sekarang, apakah kebijakan bijak Sang Bupati Ramli di Aceh Barat itu tepat diterapkan saat ini di daerah tersebut? Di sini letak permasalahan kontra produktif keputusan bijak tersebut, yang jelas dapat kita lihat sekarang ini adanya berbagai keluhan masyarakat berobat ke RS yang tak terlayani dengan baik oleh dokter spesialis, karena sebagian dokter telah di pindah tugaskan di puskesmas.
Mereka yang membutuhkan sentuhan pelayanan spesialis di rumah sakit umumnya datang dari puskesmas sekitar rumah sakit, dengan menggunakan fasilitas rujukan bertingkat, karena belum optimal pengobatan oleh dokter umum di puskesmas. Maka sudah tentu mereka kecewa bila di rumah sakit ternyata dilayani oleh dokter umum akibat dokter ahli tidak ada.
Selama ini kebijakan yang diambil pemerintah dalam hal ini kementrian kesehatan, puskesmas dilayani oleh seorang dokter umum, malah ada beberapa puskesmas tertentu misal untuk puskesmas rawat inap ada tindakan tertentu ada kompetensi khusus tambahan untuk bidang kebidanan diberikan pada dokter umum, misal ekstraksi vakum.
Untuk daerah luar pulau Jawa mungkin belum saatnya ada penempatan dokter ahli di puskesmas, karena untuk kebutuhan standar sebuah rumah sakit tipe C/D minimal ada empat dokter spesialis yang sangat dibutuhkan, yakni spesialis kebidanan, bedah, anak, penyakit dalam dan ditambah seorang dokter ahli bius. Kalau pun ada dokter ahli lebih dari seorang masih perlu pertimbangan apakah mampu seorang dokter yang tinggal melayani pasien rawat inap dan rawat jalan.
Mempuskesmaskan dokter spesialis secara temporer bisa berakibat pada kurangnya peran pelayanan dokter umum di suatu puskesmas sehingga berakibat peran dokter puskesmas yang seutuhnya akan terganggu. Mungkin solusi yang bisa diambil adalah membuat program kunjungan ke beberapa puskesmas sekitar rumah sakit secara terjadwal, tanpa perlu menginap di puskesmas sehingga mereka dapat tetap bertugas di rumah sakit induknya, seperti yang selama ini dilakukan antara RS/FK Unsyiah untuk kunjungan dokter spesialis ke Jantho, Calang dan Abdya.
Perlu untuk dipahami penempatan tenaga ahli untuk puskesmas tanpa ditempati sarana yang cukup sesuai keahlian mereka menjadi sia-sia. Kita perlu berhati-hati supaya keputusan bijak ini tidak dijadikan kampanye buruk para dokter ahli untuk datang ke suatu daerah tertentu.
Walau dapat dipahami dalam era otonomi ini bupati atau walikota adalah penguasa tunggal daerah dan berhak melakukan berbagai kebijakan demi kesejahteraan rakyatnya, akan tetapi perlu juga dipikirkan para pengambil kebijakan kenyamanan bagi aparat pelaksana kebijakan tersebut, jangan-jangan malah menjadi bumerang, sehingga masyarakat yang rugi.
Komunikasi aktif dari lembaga profesi misalkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan lembaga sosial masyarakat kesehatan lainya, dengan unsur legislatif, dan eksekutif sangat dibutuhkan demi optimalnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat, sehingga bisa merancang kegiatan yang terintegrasi dan terukur baik.
* Penulis adalah Staf pengajar FK Unsyiah.
http://www.serambinews.com/news/view/31830/heboh-dokter-dipuskesmaskan
No comments:
Post a Comment