Senyuman yang Tak PernahTerlupakan
Hujan begitu besar, aku rasakan air mulai membasahi baju, celana, dan tas yang aku bawa. Lama-kelamaan tetesan air mulai menembus kulitku. Aku terus berlari mencari tempat untuk berteduh dan beristirahat sejenak. Tapi yang kulihat hanyalah jalan setapak yang terbuat dari batu kecil disusun rapi dan pohon-pohon di sebelah jalan tersebut.
Jarak pandangku hanya beberapa meter ke depan karena tebalnya kabut. Aku berusaha mencari pohon untuk berteduh, namun tidak aku dapati pohon yang cukup lebat untuk disinggahi. Banyak aku berpapasan dengan orang-orang. Mereka berjalan dengan cepat tanpa menoleh sedikitpun sambil memegang payung mereka masing-masing.
Besar hati ingin menyapa, “Hai… boleh gak aku ikutan sampai ke depan?” Namun tampaknya mereka terlalu sibuk dengan diri sendiri. Aku putuskan untuk terus berjalan sampai sesekali berlari menginjak tanah yang sudah bercampur dengan hujan. Akhirnya aku melihat sebatang pohon yang cukup rindang dan menghampiri pohon itu. “Ah, lumayan daripada jalan terus, bisa makin basah, entar malah masuk angin. Terus harus dikerok lagi, ahh, siapa yang mau ngerokin?”
Hampir 20 menit aku berdiri sambil berharap ada orang yang menghampiriku dan menawarkan bantuan. Tapi orang-orang terus berjalan di depanku tanpa melirik sedikit pun. Mungkin mereka berpikir, “Ada orang bodoh, sudah tahu musim hujan tapi gak bawa payung!” Hujan makin lebat, aku bingung haruskah aku menerobos lebatnya hujan atau menunggu hingga hujan reda.
Matahari yang tertutup awan semakin menghilang, hari semakin malam. Apa yang harus kulakukan? Aku bingung! Beberapa saat kemudian aku melihat seseorang berjalan mendekatiku. Aku berusaha melihat wajahnya namun kabut semakin tebal sehingga aku tidak bisa mengenalinya. Dia semakin mendekat dan mendekat. Dia membawa sebuah payung dan memakai sweater hingga menutupi kepalanya. Aku masih belum dapat melihat mukanya. Dia semakin dekat, meskipun aku belum tahu siapa dia, namun ada rasa senang ketika itu. Kemudian ia tersenyum, sebuah senyuman yang tidak pernah terlupakan. Senyuman yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, senyuman yang tidak pernah berubah dari dulu. Tuhan tersenyum kepadaku.
“Nia! Hari sudah semakin gelap, aku tahu kamu perlu bantuan. Makanya aku jemput kamu.” Langsung aku berlari menghampirinya dan berjalan menembus hujan lebat bersamanya.
Read more ...
Hujan begitu besar, aku rasakan air mulai membasahi baju, celana, dan tas yang aku bawa. Lama-kelamaan tetesan air mulai menembus kulitku. Aku terus berlari mencari tempat untuk berteduh dan beristirahat sejenak. Tapi yang kulihat hanyalah jalan setapak yang terbuat dari batu kecil disusun rapi dan pohon-pohon di sebelah jalan tersebut.
Jarak pandangku hanya beberapa meter ke depan karena tebalnya kabut. Aku berusaha mencari pohon untuk berteduh, namun tidak aku dapati pohon yang cukup lebat untuk disinggahi. Banyak aku berpapasan dengan orang-orang. Mereka berjalan dengan cepat tanpa menoleh sedikitpun sambil memegang payung mereka masing-masing.
Besar hati ingin menyapa, “Hai… boleh gak aku ikutan sampai ke depan?” Namun tampaknya mereka terlalu sibuk dengan diri sendiri. Aku putuskan untuk terus berjalan sampai sesekali berlari menginjak tanah yang sudah bercampur dengan hujan. Akhirnya aku melihat sebatang pohon yang cukup rindang dan menghampiri pohon itu. “Ah, lumayan daripada jalan terus, bisa makin basah, entar malah masuk angin. Terus harus dikerok lagi, ahh, siapa yang mau ngerokin?”
Hampir 20 menit aku berdiri sambil berharap ada orang yang menghampiriku dan menawarkan bantuan. Tapi orang-orang terus berjalan di depanku tanpa melirik sedikit pun. Mungkin mereka berpikir, “Ada orang bodoh, sudah tahu musim hujan tapi gak bawa payung!” Hujan makin lebat, aku bingung haruskah aku menerobos lebatnya hujan atau menunggu hingga hujan reda.
Matahari yang tertutup awan semakin menghilang, hari semakin malam. Apa yang harus kulakukan? Aku bingung! Beberapa saat kemudian aku melihat seseorang berjalan mendekatiku. Aku berusaha melihat wajahnya namun kabut semakin tebal sehingga aku tidak bisa mengenalinya. Dia semakin mendekat dan mendekat. Dia membawa sebuah payung dan memakai sweater hingga menutupi kepalanya. Aku masih belum dapat melihat mukanya. Dia semakin dekat, meskipun aku belum tahu siapa dia, namun ada rasa senang ketika itu. Kemudian ia tersenyum, sebuah senyuman yang tidak pernah terlupakan. Senyuman yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, senyuman yang tidak pernah berubah dari dulu. Tuhan tersenyum kepadaku.
“Nia! Hari sudah semakin gelap, aku tahu kamu perlu bantuan. Makanya aku jemput kamu.” Langsung aku berlari menghampirinya dan berjalan menembus hujan lebat bersamanya.