Sabtu, 20 Februari 2010 | 03:21 WIB
Oleh Kartono Mohamad
Ketika orang miskin tidak mampu membayar biaya pengobatan bila sakit, pemerintah pun ”berbaik hati” untuk membayarinya melalui sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat. Secara politis ini sangat bagus karena rakyat akan melihat bahwa pemerintah telah memerhatikan mereka.
Namun, berita tentang bayi yang disandera karena orangtuanya tidak mampu membayar, atau orang miskin yang ditolak rumah sakit (RS), menunjukkan bahwa dalam praktik masih ada masalah. Dari contoh- contoh kasus yang diberitakan media massa, masalahnya agaknya bukan pada tidak tersedianya dana, tetapi lebih pada birokrasi yang tidak dipahami atau tidak terjangkau oleh orang miskin. Dalam program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II bidang kesehatan, masalah ini tidak dipersoalkan, tetapi justru jumlah dana yang disalurkan yang diperbesar dan cakupan yang diperluas, meliputi juga warga lembaga pemasyarakatan.
Masalah syarat administrasi ini memang pernah dibahas dalam rapat kerja Kementerian Kesehatan, tetapi lebih dilihat dari kepentingan RS. Masalah kemudahan bagi rakyat yang benar-benar memerlukan kurang dipersoalkan. Terobosan yang akan diambil Menteri Kesehatan, sesuai program 100 hari, adalah membagikan kartu miskin. Bagaimana mekanisme pembagiannya, berapa lama masa berlaku, dan bagaimana mekanisme perpanjangan kartu itu belum diungkapkan.
Di Amerika Serikat (AS), salah satu hal yang memberi tambahan nilai pada akreditasi RS adalah jika rumah sakit memiliki social service department. Tugas bagian ini adalah melakukan verifikasi ke alamat pasien untuk meyakini bahwa pasien benar-benar miskin ketika ada pasien miskin yang tidak memiliki kartu jaminan sosial. Hal serupa barangkali juga dapat diterapkan di sini. Ketika pasien miskin datang tanpa kartu, pertolongan diberikan dulu. Kemudian, petugas rumah sakit (atau dinas sosial) melakukan pengecekan ke alamat pasien untuk memastikan apakah pasien benar-benar orang miskin.
Efisiensi
Problem lain dengan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah segi efisiensinya. Dalam sistem layanan kesehatan Indonesia yang liberal dan rendah disiplin, masalah ini merupakan titik rawan. Pengharusan menggunakan Diagnostic Related Groups (DRG) dan International Classification of Diseases (ICD) sebagai pedoman belum merupakan jaminan karena banyak dokter belum memahami. Dengan DRG, biaya ditetapkan bukan didasarkan pada tiap tindakan (fee for service), tetapi pada jenis diagnosis, sedangkan penetapan diagnosis mengacu kepada ICD 10.
Selama sistem masih sangat liberal, tarif rumah sakit ditetapkan berbeda-beda sesuai peraturan daerah, serta belum ada mekanisme pengawasan yang efektif, kebutuhan dana Jamkesmas dapat membengkak tanpa peningkatan kualitas pelayanan. Apalagi jika penentuan besaran dana untuk tiap pasien tidak didasari perhitungan aktuaria yang cermat. Di sisi lain, rumah sakit sulit menghindar dari pola perhitungan berdasarkan fee for service akibat perilaku dokter kurang kooperatif untuk melakukan efisiensi. Maka, perhitungan biaya akan lebih besar daripada ketentuan DRG sehingga mereka merasa rugi kalau menangani pasien miskin.
Dapat dimengerti bila masih saja terjadi ada pasien miskin diminta membayar dengan dalih tindakan itu tak termasuk yang dijamin. Rakyat miskin yang dijanjikan mendapat pengobatan gratis kembali yang menjadi korban. Konsekuensi selanjutnya adalah penurunan mutu layanan. Tanpa pengawasan terhadap mutu, akan terjadi pembengkakan biaya yang melampaui batas yang ditetapkan DRG. Komplikasi atau efek samping yang terjadi akibat perawatan yang kurang bermutu jadi alasan untuk membengkaknya biaya.
Negara-negara maju yang mempunyai program seperti Jamkesmas, membentuk lembaga independen yang bertugas mengawasi mutu layanan. Di AS ada Institute for Health Care Improvement (IHI), di Inggris ada National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE), demikian juga di Australia dan Eropa. Mereka melakukan penilaian terhadap pelayanan kesehatan bagi yang ditanggung negara dalam segi keamanan, cost-effectiveness, dan manfaat bagi pasien. Lembaga-lembaga pengawas mutu tersebut berisi bukan saja birokrat, tetapi juga tokoh profesi atau universitas dan wakil masyarakat pemakai jasa pelayanan.
Pengelolaan
Dengan berbagai kelemahan di atas, dana Jamkesmas seharusnya dikelola sebagaimana asuransi kesehatan sosial. Senyampang dengan rencana pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Jamkesmas seyogianya dilebur ke dalam SJSN dan dianggap sebagai pembayaran premi bagi orang miskin. Jika pengelolaan SJSN benar-benar profesional, ia akan juga melakukan program preventif dan promotif serta menjamin pemerataan akses pelayanan bagi semua orang secara sama (equal) tanpa diskriminasi dan dengan mutu yang terjaga.
Pemerintah lalu tinggal membentuk lembaga pengawas yang mandiri seperti di negara-negara lain tadi. Selain itu, untuk efektivitas dan efisiensi dapat dilakukan penggabungan antara Jamkesmas dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) di daerah-daerah yang mampu sehingga tidak terjadi duplikasi dan pemborosan. Di AS dan juga Australia, misalnya, beban itu dibagi antara pemerintah pusat dan negara bagian. Di AS, beban Jamkesmas orang miskin (medicare) ditanggung negara bagian, tetapi Jamkesmas untuk lanjut usia (medicaid) ditanggung pemerintah federal. Di Australia, beban operasional rumah sakit pemerintah (public hospital) 50 persen ditanggung pemerintah dan 50 persen lagi diperoleh dari SJSN.
Dalam program 100 hari KIB II, aspek populis dan ”dermawan” tampaknya yang lebih ingin ditonjolkan dibanding menyiapkan landasan untuk memperbaiki sistem pelaksanaannya secara konseptual sebagai dasar untuk melaksanakan UU SJSN (dijanjikan tahun 2014). Tanpa perbaikan sistem, beban Jamkesmas akan semakin besar tanpa dampak yang berarti bagi rakyat miskin.
Kartono Mohamad, Mantan Ketua Umum PB IDI
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/20/03213114/menggugat.arah.sistem.jaminan.kesehatan
No comments:
Post a Comment