Jumat, 26 Februari 2010 15:01
Penderita epilepsi sebagian besar memang anak-anak, namun epilepsi juga bisa muncul di usia dewasa. Menurut dr.Hanif Tobing, ahli bedah saraf dari FKUI/RSCM, kasus epilepsi pada orang dewasa biasanya terjadi karena infeksi atau trauma di kepala akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan memar otak. (foto: newamerica.net)
Penderita epilepsi sebagian besar memang anak-anak, namun epilepsi juga bisa muncul di usia dewasa. Menurut dr.Hanif Tobing, ahli bedah saraf dari FKUI/RSCM, kasus epilepsi pada orang dewasa biasanya terjadi karena infeksi atau trauma di kepala akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan memar otak. (foto: newamerica.net)
JAKARTA (SuaraMedia News) - Kebanyakan orangtua langsung panik ketika dokter memvonis anak mereka menderita epilepsi. Padahal, penanganan yang benar dan teratur dapat mengurangi, bahkan menghilangkan serangan epilepsi.
Epilepsi, menurut dr. Mohamad Saekhu, SpBS, dari Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM Jakarta, terjadi akibat tidak normalnya aktivitas listrik di otak. Hal ini menyebabkan kejang dan perubahan perilaku dan hilangnya kesadaran. Tanda-tandanya bisa berupa kehilangan kesadaran untuk waktu tertentu, kejang, lidah menjulur, keluar air liur, gemetar atau tiba-tiba black out.
Ada dua jenis epilepsi yang dikenal, yaitu epilepsi umum, berupa hilangnya kesadaran, kejang seluruh tubuh hingga mengeluarkan air liur berbusa dan napas mengorok, serta terjadi kontraksi otot yang mengakibatkan pasien mendadak jatuh atau melemparkan benda yang tengah dipegangnya.
Selain itu dikenal epilepsi parsial yang ditunjukkan oleh rasa kesemutan atau rasa kenal pada satu tempat yang berlangsung beberapa menit atau jam. Bisa juga, rasa seperti bermimpi, daya ingat terganggu, halusinasi, atau kosong pikiran. Seringkali diikuti mengulang-ulang ucapan, melamun, dan berlari-lari tanpa tujuan.
Sebagian besar penderita epilepsi terjadi karena faktor keturunan. Anak yang lahir dari keluarga penderita epilepsi, cenderung menderita epilepsi juga. Selain itu, epilepsi juga bisa disebabkan oleh berbagai macam penyakit yang mengganggu fungsi otak.
"Epilepsi bisa terjadi karena kelainan bentukan otak (kongenital), infeksi penyakit yang menyebabkan radang otak, adanya tumor di otak, step berulang, gangguan metabolisme, serta ada yang tidak diketahui penyebabnya," kata dr.Saekhu.
Penderita epilepsi sebagian besar memang anak-anak, namun epilepsi juga bisa muncul di usia dewasa. Menurut dr.Hanif Tobing, ahli bedah saraf dari FKUI/RSCM, kasus epilepsi pada orang dewasa biasanya terjadi karena infeksi atau trauma di kepala akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan memar otak.
Bebas kejang
Menurut dr.Saekhu, obat-obatan yang diberikan pada pasien epilepsi tidak langsung menyembuhkan epilepsi, tapi hanya bersifat mengendalikan atau menjarangkan serangan, bahkan menghilangkannya. "Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah bebas kejang," paparnya.
Seorang penyandang epilepsi umumnya memerlukan obat sampai tidak dijumpai lagi serangan dalam jarak waktu tertentu, tergantung dari tipe epilepsi, riwayat epilepsi masa lalu, dan hasil rekaman listrik otak.
Tindakan operasi bisa dilakukan jika pengobatan yang diberikan pada pasien tidak mengurangi keluhan epilepsi. "Di RSCM, tindakan operasi bisa dilakukan jika pemeriksaan MRI menunjukkan ada glioma atau jenis tumor jinak," imbuh dr.Hanafi. Meski sudah dilakukan operasi, namun pasien epilepsi tetap wajib mengonsumsi obat anti kejang.
Yang penting diketahui orangtua, epilepsi tidak selalu mengakibatkan kemunduran kecerdasan pada penderita. Anak juga bisa bisa beraktivitas dengan normal seperti anak sehat lainnya asalkan tetap teratur mengonsumsi obat.
Epilepsi pada anak-anak dapat disembuhkan dengan menjalani pengobatan rutin yang teratur, selama minimal dua tahun sejak kejang yang muncul terakhir. Penanganan yang benar dan rutin terbukti menaikkan tingkat kesembuhan pasien hingga di atas 80 persen.
Hal ini disampaikan Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, dalam seminar yang diselenggarakan Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia (Perpei) dan Yayasan Epilepsi Indonesia.
Irawan melihat tingginya angka kejadian epilepsi pada anak, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000. Penyebab epilepsi itu karena adanya infeksi virus, cedera kepala, gangguan pembuluh darah otak, dan cacat lahir. ”Bayi yang lahir dengan berat di bawah normal juga berisiko terkena gangguan ini,” ujar Irawan.
Dijelaskan Ketua Perpei, Lyna Soertidewi, epilepsi diakibatkan tidak normalnya aktivitas listrik pada otak. Hal ini menyebabkan kejang dan perubahan perilaku dan hilangnya kesadaran. Gangguan ini dapat berlangsung menahun dan manifestasi serangannya berbeda-beda tergantung bagian fungsi otak yang terganggu.
”Epilepsi dapat diobati sehingga serangan dapat dikurangi bahkan dihilangkan,” kata Soertidewi.
Hal ini dapat tercapai bila penderita mengikuti petunjuk dokter serta disiplin minum obat yang diberikan dokter. Tujuan pemberian obat ini adalah menyeimbangkan kimiawi dalam otak yang memicu gangguan kelistrikannya. Pada anak tingkat kesembuhan dapat dicapai sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan sel otaknya.
Jenis epilepsi
Ada dua jenis epilepsi yang dikenal, yaitu epilepsi umum, berupa hilangnya kesadaran, kejang seluruh tubuh hingga mengeluarkan air liur berbusa dan napas mengorok, serta terjadi kontraksi otot yang mengakibatkan pasien mendadak jatuh atau melemparkan benda yang tengah dipegangnya.
Selain itu dikenal epilepsi parsial yang ditunjukkan oleh rasa kesemutan atau rasa kenal pada satu tempat yang berlangsung beberapa menit atau jam. Bisa juga, rasa seperti bermimpi, daya ingat terganggu, halusinasi, atau kosong pikiran. Seringkali diikuti mengulang-ulang ucapan, melamun, dan berlari-lari tanpa tujuan.
”Epilepsi parsial ini dapat berkembang menjadi epilepsi umum,” ujar Soertidewi menjelaskan.
Selain pada anak, M Hakim, Sekjen Perpei, melihat terjadinya peningkatan kasus epilepsi yang muncul pada orang dewasa. Gangguan di otak ini disebabkan oleh kerusakan jaringan, misalnya karena tumor, dan trauma di kepala akibat kecelakaan lalu lintas.
”Kenaikan kasus ini di Jakarta berkaitan dengan peningkatan jumlah kecelakaan pengendara sepeda motor,” kata M Hakim.
Pengobatan epilepsi yang menelan biaya tinggi dan jangka panjang tentu akan memberatkan bagi pasien yang tingkat ekonominya rendah.
Untuk itu, pihaknya memberikan layanan pengobatan dengan biaya rendah hanya 50 persen dari harga umumnya. Layanan pengobatan murah itu dibuka di Puskemas Jatinegara dan Tebet.
Penderita epilepsi diminta mewaspadai konsumsi obat-obatan herbal karena berpotensi meningkatkan risiko kekambuhan. Untuk mengendalikan serangan epilepsi, selama ini pasien harus disiplin mengonsumsi obat.
Epilepsi adalah kerusakan jaringan otak yang disebabkan cedera lahir, kecelakaan, infeksi otak, stroke, tumor, atau step berulang pada anak. Obat-obatan yang diberikan tidak langsung menyembuhkan epilepsi, tapi hanya bersifat mengendalikan atau menjarangkan serangan.
Sejumlah peneliti dari Jerman dalam Journal of Natural Products mengatakan, obat-obatan herbal, terutama yang mengandung ginko biloba, akan memicu timbulnya serangan epilepsi. Mereka meyakini herbal itu memiliki "efek merusak".
Obat herbal ginko biloba yang dibuat dari ekstrak daun pohon ginko biloba banyak dipakai konsumen di negara Eropa untuk menghilangkan berbagai keluhan, mulai dari depresi, meningkatkan daya ingat, sakit kepala, hingga pening.
Dalam risetnya, para peneliti dari University of Bonn, Jerman, memfokuskan pada senyawa kimia dalam ginko biloba yang disebut ginkgotoxin. Berbagai bukti menunjukkan, zat kimia tersebut memicu sinyal kimia dalam tubuh yang terkait dengan serangan epilepsi.
Meski para peneliti tidak bisa membuktikan dengan nyata bahwa obat herbal mungkin meningkatkan risiko kekambuhan, pasien diminta tetap berhati-hati dalam mengonsumsi ginko biloba. Produsen pembuat obat herbal juga disarankan untuk mengurangi kadar toksin dari bahan-bahan herbal. (k3m) www.suaramedia.com
http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/anak/17886-pahami-gejala-epilepsi-pada-anak.html
No comments:
Post a Comment