Senin, 13 September 2010 00:01 WIB
KEMISKINAN menjadi penyakit yang telah diterima sebagai kewajaran permanen. Sama seperti korupsi, kemiskinan di Indonesia bermutasi sehingga memperoleh kekebalan. Dalam setiap kesempatan, baik sakral maupun formal, kemiskinan mempromosikan dirinya dalam derajat yang ekspansif.
Dalam suasana demokrasi yang mendewakan akuntabilitas dan transparansi, kemiskinan diekspos dan terekspos oleh media sebagai good news. Kematian seorang tunanetra bernama Johni Malela di depan pagar Istana Presiden karena berdesakan untuk bersilaturahim Idul Fitri, dengan harapan mendapat saweran, menjelaskan dengan gamblang bahwa kemiskinan telah memamerkan diri ke pusat-pusat kekuasaan.
Itu disebabkan semakin ke pusat kemiskinan memperoleh penghargaan yang lebih mahal dan lebih patut. Karena itu, tidak mengherankan ketika orang miskin berebut kesempatan mempromosikan diri di Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan. Setiap musim Lebaran tiba, orang-orang miskin memperoleh momentum untuk berparade memperebutkan saweran.
Kematian Johni tidak perlu diperdebatkan dari sisi pertarungan interes politik dan karena itu dibawa ke aroma politis. Tetapi, itu menegaskan dengan jelas tentang sebuah hal, kemiskinan di Indonesia telah kehilangan batas-batas kepatutan. Tidak saja orang miskin memamerkan diri secara tidak patut, tetapi menyapa orang miskin dan kemiskinan pun telah kehilangan kepatutan.
Setiap menjelang Lebaran setiap kali itu pula kita menyaksikan tragedi kemiskinan. Tragedi karena orang miskin kehilangan akal sehat dan kepatutan untuk rela mati hanya memperebutkan secangkir beras dan setitik minyak goreng. Dan, tragedi juga ketika orang-orang kaya yang memiliki kerelaan memberi, tetapi dengan gaya menyawer yang haus ekspose.
Kemiskinan akhirnya terlembaga menjadi rezeki di balik malapetaka kemanusiaan. Mereka yang memiliki naluri bisnis mengorganisasi orang miskin dari perdesaan untuk disebar di pusat-pusat keramaian di kota-kota untuk kemudian menerima setoran.
Celakanya, negara pun menganut gaya saweran untuk mengatasi kemiskinan. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah contoh paling sederhana, tetapi sangat jelas tentang gaya ini. Setiap tanggal pembayaran BLT, setiap kali itu pula orang-orang yang mengaku miskin berparade di depan kantor lurah maupun camat atau kantor pos berebut rezeki.
Tetapi, kita masih saja bertengkar tentang pahala dan mudarat BLT. Tidak ada kesepakatan sampai sekarang tentang kepatutan atau ketidakpatutan kebijakan yang beraroma saweran ini.
Karena terhibur oleh saweran, negara sampai sekarang kehilangan akal mengatasi kemiskinan secara substansial. Saweran juga menyebabkan kemiskinan menjadi proyek yang menggiurkan. Karena proyek, muncullah orang-orang yang berpura-pura miskin.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan gampang menjadi sasaran kritik karena politik citra. Tidak semuanya buruk pilihan politik ini. Kita ingin mendorong agar dalam sisa kepemimpinan yang tinggal empat tahun, bisakah SBY menancapkan citranya dengan tekad menghapus parade orang miskin di jalan-jalan di seluruh Indonesia? Kalau mau, pasti bisa.
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/13/168162/70/13/Parade-Kemiskinan-
No comments:
Post a Comment