Senin, 13/09/2010 12:08 WIB
Laily Dwi Arsyianti
Jakarta - Sebagaimana telah diketahui bahwa penduduk Muslim memenuhi lebih dari 80 persen populasi Indonesia. Produk-produk halal seharusnya dapat dengan mudah diperoleh dibandingkan dengan produk-produk haram. QS Al Baqarah ayat ke 172 dan 173 telah mengecualikan 4 jenis produk yang haram untuk dikonsumsi. Sedangkan selebihnya adalah halal.
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (al Quran dan terjemahnya: Kompleks Percetakan Al Quran Raja Fahad, Madinah).
Mungkin mayoritas dari kita sering mendengar dalil-dalil tersebut di atas. Sepatutnya yang menjadi exemption adalah makanan-makanan haram yang disebutkan secara eksplisit dalam ayat di atas. Akan tetapi dalam masyarakat kita sekarang justru makanan-makanan halallah yang sulit diperoleh. Sehingga, kemudian saat ini kita telah memasuki kondisi seperti yang disebutkan dalam hadits berikut.
"Abu Hurairah ra pula bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Ditutupilah neraka dengan berbagai kesyahwatan - keinginan - dan ditutupilah syurga itu dengan berbagai hal yang tidak disenangi" (Muttafaq'alaih).
Label halal merupakan salah satu upaya perlindungan bagi konsumen Muslim. Namun, bagaimana halnya dengan bahan-bahan makanan di pasar tradisional, warteg-warteg, atau pun warung tenda-warung tenda yang kebanyakannya tidak memiliki label halal dari pihak berwenang?
Sebagai perbandingan di Malaysia telah didirikan Persatuan Pengguna Islam Malaysia (PPIM) yang berdiri dan di bawah pengawasan langsung Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JaKIM) yang merupakan lembaga pemerintahan resmi. Jabatan ini (setingkat direktorat jenderal di Indonesia) telah berhasil menekan produk seperti pasta gigi dan produk perawatan tubuh yang diimpor dan tidak berlebel halal untuk memenuhi persyaratan kehalalan agar dapat dikonsumsi rakyat di Malaysia. Kemudian PPIM didirikan untuk menjawab pertanyaan di atas.
Inspeksi-inspeksi mendadak ke pasar tradisional dan modern pun secara aktif dilakukan sehingga konsumen Muslim dapat merasa aman dan tidak ragu dengan kehalalan produk-produk yang dikonsumsi. Kegiatan ini didukung dengan merekrut sukarelawan yang memiliki komitmen terhadap makanan halal.
Di atas kertas prosentase penduduk muslim Indonesia jauh lebih besar dibanding prosentase penduduk Muslim Malaysia. Sepatutnya, pemerintah dan, jika tidak perlu mengandalkan pemerintah, kita sendiri aware terhadap apa-apa yang kita konsumsi. Apa-apa yang kita makan dan minum, apa-apa yang masuk ke dalam perut kita. Karena, sebagaimana hadits berikut, Rasulullah SAW bersabda: "Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih baik baginya".
Salah satu penjabaran dari hadits ini adalah apa yang kita makan akan mempengaruhi peri laku kita. Jadi, jika makanan dan minuman yang masuk dalam tubuh ini bersumber dari yang haram-haram maka peri laku kita cenderung negatif dan cenderung mengarah pada kemaksiatan dan keburukan.
Mungkin ada baiknya kita muhasabah atau evaluasi diri kita sendiri. Halalkah makanan dan minuman yang kita konsumsi hari ini? Jika tidak ada pengetahuan padanya maka carilah pengetahuan itu karena setiap sesuatu akan diminta pertanggungjawabannya.
Laily Dwi Arsyianti
Konsultan Keuangan Keluarga Majalah ALIA, tinggal di Kuala Lumpur
Jalan Gombak Batu 6 KL, Malaysia
Email: arsyianti@gmail.com
(msh/msh)
http://suarapembaca.detik.com/read/2010/09/13/120852/1439746/283/urgensi-makanan-halal?992205470
No comments:
Post a Comment